Jumat, 25 Januari 2013

kaidah fiqhiyah dan ushuliyah



BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah
            Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah PAI. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
            Melihat dari fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul dalam menggali hukum syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting untuk di pelajari.[1]
            Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif  di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan mempelajari kaidah-kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah?

III. Tujuan Pembahasan
            Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang tujuan mempelajari kaidah-kaidah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYAH
            Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh dan diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
            Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s016/a026.png
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”
            Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
            Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
            Menurut  Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya.
            Kaidah Fiqhiyah disebut juga kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengisntinbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.
            Titik tolak pelaksanaan hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap perbuatan harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan.

1. Tujuan Mempelajari Kaidah Fiqhiyah
            Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang. [2]
            Dibuat demikian agar prinsip-prisip umum, qanun-qanun yang mulia ini menjadi petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita dibawah sinaran nyala api untuk mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat. Lebih lanjut Khallaf menyatakan bahwa diatara nash-nash tasyrik yang telah menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun kulliyah yang dengan dia diterangi segala undang-undang. Dan diantara nash-nash tasyrik ada yang menetapkan hukum-hukum yang asasi dalam cabang fiqh yang bersifat amali. Dan Al-Qur’an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap undang-undang agar membuahkan hukum. Keluasan dan kelastisan hukum nash-nash Al-Qur’an itu merupakan koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari daar dan prinsip umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat di setiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap undang-undang yang sudah adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.
            Ungkapan khallaf tersebut megisyaratkan bahwa lapangan fiqh begitu luas, karena mencakup berbagai hukum furuq, karena itu perlunya kristalisasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah yang serupa.
            Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam megisthimbatkan hukum bagi suatu masalah, yakni menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Dalam kitab faraidul bahiyah disebutkan, yang artinya:
Sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqh itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fuqhiyah, maka menghafalkan kaidah itu besar fungsinya.” (Asjmuni A. Rahman, 1976:17 )
            Selanjutnya Imam Abu Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
            Sedang Al-Qrafi dalam furu’nya mengatakan bahwa seseorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak yang bertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya. (Asjmuni A. Rahman, 1976:17-19)
            Karena itu setiap fuqaha selalu mempunyai kaidah kulliyah sebagai hasil cerminan dari hasil ijtihad furu’nya da mudah dipahami oleh pengikutnya.[3]

B. PENGERTIAN KAIDAH USHULIYAH
            Dilihat dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain. Sedangkan fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.
            Dengan demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.
            Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.
Defenisi ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
            Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
            Defenisi yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.

1. Tujuan Mempelajari Kaidah Ushuliyah
            Kaidah-kaidah ushuliyah merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode istimbathiayah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi ( kebahasaan ) maupun tarkib ( susunan ) dan uslub-uslubnya ( gaya bahasa ). Karena itu semua metode istimbathiah harus mengacu pada kaidah yang telah di tetapkan dan di sepakati bersama.
            Seseorang akan mampu berbicara tetang hukum jika dia telah menguasai kaidah-kaidah usuliyah walaupun pengetahuan tentang dalil nash kurang dikuasai. Misalnya seseorang dihadapka nikah sebagai jalan untuk melestarikan keturunan ( li hifz nasl ) namu pilihanya nonmuslim. Kasus seperti ini, seseorang tak perlu lama-lama mencari nash dalam Al-Qur’an atau assunnah, tetapi cukup mempertimbangkan hierarki kebutuhan manusia yang dharuriah (primer), yaitu memelihara agama lebih penting dari pada memelihara keturunan, bila keduanya bertentangan maka maka memelihara agama harus di dahulukan, karena ia menduduki hierarki yang tertinggi, jadi kasus diatas tidak diperkenankan, kecuali pernikahan antar agama itu membawa maslahah yang pasti, misalnya seseorang menikah dengan seseorang nonmuslimah, karena pada lazimnya seseorang istri mengikuti suamiya.

C. MACAM-MACAM QAIDAH FIQHIYAH
            Macam-macam qaidah fiqhiyah ini ada dua puluh lima, yaitu:
            1.
“ Ijtihad itu tidak batal karena ijtihad”
            2.
                        “Hukum had gugur karena samar-sama”
            3.
                        “Perlakuan pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan”
            4.
                        “ Keluar dari perselisihan, terpuji”

            5.
“ Mengutamakan orang lain dalam soal ibadah makruh dan dalam soal keduniaan disukai”
            6.
                        “ Pengikut itu di ikuti”
            7.
                        “ Harim mempunyai hukum seperti harim lahu”
            8.
                        “Sesuatu yang banyak di lakukan lebih banyak keutamaannya”
            9.        
“Fardhu itu lebih baik daripada sunnat”
            10.      
                        “Sunnat lebih longgar daripada fadhu”
            11.
                        “Yang mudah tidak gugur karena yang sukar”
            12.
“Apabila dua buah perkara yang sama jenis dan tidak berbeda maksudnya berkumpul, maka salah satunyua masuk kepada yang lain.
            13.
                        “ Bila halal dan haram berkumpul, dimenangkan yang haram”
           

            14.
“ sesuatu yang ditetapkan menurut syara’ didahulukan daripada yang ditetapkan menurut syarat”
15.
“ sesuatu yang haram menggunakannya diharamkan mengambilnya”
16.
            “ sesuatu yang haram mengambilnya diharamkan memberinya.”
17.
            “ Perwalian khusus lebih kuat daripada perwalian umum.”
18.
            “ Tidak dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya.”
19.
            “ rela terhadap sesuatu, rela terhadap apa yang dia lahirkan.”
20.
“ barang siapa mempercepat sesuatu sebelum masanya dihukum haram menggunakannya.”
            21.
                        “ sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya.”
            22.
                        “ yang sudah di-masyghul-kan dengan sesuatu tidak di-masyghul-kan lagi.”
23.
              sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil diantara keduanya secara umum.”
24.
            “ Yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali oleh yang wajib.”
25.
            “ Hukum itu berputar bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.”[4]

D. CONTOH KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH SERTA DASAR-DASAR
PENGAMBILANNYA
            .
1. الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ


Artinya:
 ”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)

2. الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s007/a056.png
Artinya:
 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

3. الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s007/a199.png
Artinya:
 “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.

4. لايزال بالشـك اليـقـين (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.

5. تـجـلب التـيسـير المـشـقة (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. [5]
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”


Surat An-Nisa’ ayat 28:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a028.png
Artinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”







E. PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
1.      Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2.      Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3.      Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.      Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
5.      Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6.      Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7.      Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.

8.      Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[6]










BAB III
PE
NUTUPAN
A. Kesimpulan.
            Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
            Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
            Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.








DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Wahhab Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April 2003 M
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar  Dalam Istinbath Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta:1993.
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Alma’rif, Bandung: 1986.


[1]  Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, (Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh:2011), hal.4
[2] Khallaf, Wahhab Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April 2003 M

[3]  Mukhlis Usman, Kaidah- Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, cet.4, ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002), hal.79
[4] Mukhtar Yahya,  Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, cet.1, (Bandung: Alma’arif,1986), hal.522
[5]  Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh,....... hal. 80
[6] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal,..... hal. 4

3 komentar: