BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam
proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan,
diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum
diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan
budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan
tadi, kami mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam
pengembangan suatu kurikulum.
Kurikulum
sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai
hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini
kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk
mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh
pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan
asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
Kurikulum
merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh
kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan
kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan
kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal
terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat
pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Landasan
psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan
mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga
nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan
tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum
mutlak perlu diperhatikan.
BAB
II
PEMBAHSAN
LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Psikologi
dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
dalam hubungan dengan lingkungan, pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi
merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun
abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan
kegiatan jiwa.
Peserta
didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik,
intelektual, social emosional, moral, dan sebagainya). Manusia berbeda dengan makhluk
lainnya contohnya Manusia berbeda dengan binatang, karena kondisi psikologis
manusia lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks di bandingkan dengan bintang.
Allah Swt menjelaskan
bahwa manusia adalah makhluk yang lebih mulia dibanding makhluk lainnya, yaitu dalam QS. Al Isro: 70,
“Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”.
Allah
melebihkan Manusia dari hewan, dengan akal dan daya cipta, sehingga menjadi
makhluk bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat
karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan syetan dan nafsu, sedang
ketaatan malaikat tanpa tantangan.
Manusia
sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki
karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan
binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan
yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam
kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang
memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat
instinctif.
Para psikolog
memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang
menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan
respons individu terhadap lingkungan tempat hidup. Dalam masa
pertumbuhannya, kepribadian anak didik bersifat dinamis, berubah-ubah
dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan.
Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses
kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik
atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.
Bukti yang terkenal berkaitan dengan pengaruh lingkungan dalam
perkembangan adalah seperti hadist di mana Rasulullah Saw bersabda,
Yang
artinya: “Tiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (suci membawa disposisi
Islam). Orang tuanyalah yang membuat ia Yahudi (jika mereka Yahudi), Nasrani
(jika mereka Nasrani), atau Majusi (jika mereka Majusi)”. (HR. Muslim)
Hadist ini mengatakan bagaimana orang tua mempengaruhi agama,
moral, dan psikologi umum dari sosialisasi dan perkembangan anak-anak mereka.
Hadis ini merupakan bukti tekstual yang paling terkenal dari pengaruh
lingkungan terhadap seseorang.
Dalam Hadis lain, Nabi Muhammad Saw, menunjukkan bagaimana teman
dapat mempengaruhi seluruh perilaku, karakter dan perbuatan seseorang. Dengan
memberikan perumpamaan, Nabi Muhammad Saw, bersabda:
yang artinya “Persamaan teman yang baik dan
teman yang buruk seperti pedagang minyak kesturi dan peniup api tukang besi. Si
pedagang minyak kesturi mungkin akan memberinya padamu, atau engkau membeli
kepadanya, atau setidaknya engkau dapat memperoleh bau yang harum darinya, tapi
si peniup api tukang besi mungkin akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu
akan mendapatkan bau tidak sedap daripadanya”. (HR Bukhari).
Al-Qur’an
mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara
kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada
godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia
tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara
keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara
aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang
baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya.
Tugas
utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan
perkembangan peserta didiknya menjadi lebih baik berdasarkan tugas–tugas
perkembangannya.
Dengan
menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan
dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta
didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari
peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta
penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Menurut
Abdurahman an-Nahlawi (1983:196) sebagaimana yang dikutib oleh Abdul Majid
dalam bukunya Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, menjelaskan
bahwa kurikulum Islami harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:[1]
Pertama, memiliki
sistem pengajaran dan matrei yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan
untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan
fitrah manusia.
Kedua, harus
mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan
hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus menjadi landasan
kebangkitan Islam, baik dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal maupun
sosial.
Ketiga, harus sesuai
dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkatan pemahaman,
jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam
kurikulum.
Keempat, memperhatikan
tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyagkut penghidupan dan bertitik
tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam. Hal
lain yang harus menjadi perhatian adalah pelayanan kesehatan, jaminan keamanan,
perkantoran, kebudayaan atau aspek-aspek hasil peradaban lainnya.
Kelima, tidak
bertentanagan dengan konsep-konsep Islam. Mengacu pada kesatuan Islam, dan
selaras dengan integrasi psikologi yang telah Allah ciptakan untuk manusia
serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak
didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem maupun realitas
alam, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai bidang ilmu.
Keenam, harus
realistis sehingga dapat diterpakan selaras dengan kesanggupan negara yang
hendaka menerapkannya sehingga sesuai dngan tuntutan dan kondisi negara itu
sendiri.
Ketujuh, harus memilih
metode yang relastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi,
lingkungan dan keadaan tempat ketika kurikulum itu ditetapkan. Yang taka kalah
pentingnya adalah kurikulum itu harus selarasdengan berbagai respon sehingga
sesuai dengan perbedaan individu.
Kedelapan, harus
efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan
tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi
muda. Pada dasarnya kurikulum islami memiliki kelbihan berupa metode pendidikan
yang sahih dan berdampak jauh kedepan serta memiliki berbagai kegiatan islami
yang berhasil dan tersaji dengan jelas.
Kesembilan, harus sesuai
dengan berbagai tingkatan usia anak didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian
materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah
dicapai oleh anak didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkatan
penguasaan bahasa yang dicapai oleh anak. Hal ini memerlukan studi psikologis,
fase-fase perkembangan dan kemampuan generasi muda muslim.
Kesepuluh, memperhatikan
aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktifitas langsung
seperti ; berjihad, dakwah islam, serta pembangunan masyarakat muslim dalam
lingkungan persekolahan sehingga kegiatan ini dapat mewujudkan seluruh rukun
islam dan syi’arnya, metode pendidikan dan pengajarannya, serta etika dalam
kehidupan siswa secara individu dan sosial.
Pada
dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi
belajar.
1.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi
perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan,
aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal
lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
2.
Psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks
belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori
belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari
pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan
dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi
yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran
Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi
merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal
dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam
pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula
tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
1.
Motif: sesuatu yang dimiliki
seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2.
Bawaan: yaitu karakteristik fisik
yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3.
Konsep diri: yaitu tingkah laku,
nilai atau image seseorang;
4.
Pengetahuan: yaitu informasi
khusus yang dimiliki seseorang; dan
5.
Keterampilan: yaitu kemampuan
melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Karakteristik
perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang
terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam
pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan
untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan
dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh
peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar.
Guru
sebagai pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk
melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal
ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan
memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi
perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang
diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi,
tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan
tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan
sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana
kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus
mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
Jadi, minimal ada dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan
dan Psikologi Belajar.
1. Psikologi
Perkembangan
Psikologi
perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan
spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa. Psikologi
perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang
mempelajari proses perkembangan individu, baik
sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan
perilaku" (J.P. Chaplin, 1979). Sementara
itu Ross Vasta, dkk. (1992) mengemukakan
bahwa psikologi perkembangan adalah "Cabang
psikologi yang mempelajari perubahan tingkah
laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan
individu dari mulai masa konsepsi sampai mati".
a.
Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan
tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat
longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi
kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu
melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa
perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh
Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold
Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat
ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkemmbangan dan kemampuan, serta
perilaku mereka. Studi Psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para
pengikutnya. Studi ini banyak diarahkan mempelajari perkembangan anak pada
masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita).
Menurut
mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat mengganggu
perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert
Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan
tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain
yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus.
Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan
menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian
pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[2]
Secara
psokologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan
minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan
perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memperhatikan kondisi
psikologis perkembangan dan belajar anak.
Anak
sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama
lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan
tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi
untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan
ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Perkembangan
anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiaan, tetapi tempo dan irama
perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Seorang
anak mungkin lebih cepet perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat
pada tahap lainnya, atau perkembangan aspek tertentu lebih cepat di bandingkan
dengan aspek lainnya.
Pandangan
tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan
di samping persamaannya.
Adanya
perbedaan-perbedaan tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru,
tetapi justru akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai
teori-teori perkembangan anak.
b.
Teori perkembangan
Ada tiga
teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu
I.
pendekatan pentahapan (stage approach),
II.
pendekatan diferrensial (diferential approach), dan
III.
pendekatan ipsatif (ipsative approach).
Menurut
pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang
berbeda dengan tahap yang lainnya.
Pendekatan
diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar
persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok
yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin,
ras, agama, status social-ekonomi dan sebagainya.
Pendekatan
isaptif merupakan pendekatan yang berusaha melihat karakteristik
individu-individu.
Dari
tiga pendekatan itu yang banyak di anut oleh para ahli psikologi perkembangan
adalah pendekatan penahapan. Karena pendekatan ini lebih jelas menggambarkan
proses ataupun urutan perkembangan dan kemajuan individu.
Dalam
pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang
bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan
fisik dan gerakan motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan
sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah
satu segi atau aspek perkembangan saja.
Rousseau membagi seluruh masa perkembangan
anak atas empat tahap perkembangan.
1. Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun
merupakan tahap perkembangan fisik.
2. Masa anak (childhood), usia 2-12
tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitive.
3. Masa remaja awal (pubescence), usia
12-15 tahun, masa bertualang yang di tandai dengan perkembangan intelektual dan
kemampuan nalar yang pesat.
4. Masa remaja (adolescene), usia 15-25
tahun, masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual,
moral, dan kata hati.
Disamping
itu perkembangan manusia juga dapat ditinjau menurut Al Qur’an. Seperti Firman Allah Swt dalam surah Al
Mu’minuun (23) : 12-14
12 “Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.”
13 “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”
14 “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Allah
Swt, juga berfirman dalam surah Al-Mu’min (40) ayat 67:
“ Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah
kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian
dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya
kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai
tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)”.
Di dalam QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14 dan Al-Mu’min
(40) ayat 67
ini, dijelaskan pertumbuhan dan perkembangan manusia prantal yaitu:
1. Fase
Nuthfah (tetesan spermatozoa)
2. Fase
Alaqoh atau fase gumpalan darah atau yang melekat pada dinding rahim.
3. Fase
Mudhghah (gumpalan daging)
4. Fase
terbentuknya tulang yang terbalut oleh daging jaringan dan otot
5. Fase
janin dalam bentuk sempurna
6. Fase
bayi dan anak-anak
7. Fase
baligh hingga dewasa
8. Fase
lanjut usia sampai kepada ajal.
Jean
Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari dari kemampuan kognitif anak.
Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting adalah penguasaan
dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal
lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi dalam lingkungannya.
Ada
empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu:
1.
Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun
2.
Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
3. Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11
tahun
4. Tahap Formal Operasional, usia 11-15
tahun
Tahap
sensorimotor pada tahap/masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak
reflek, bahasa awal, waktu sekarang, dan ruang yang dekat saja.
Tahap
praoperasional atau prakonseptual disebut juga masa intuitif dengan kemampuan
menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya,
pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan
tempat masih terbatas.
Tahap
konkret operasional pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas
menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
Tahap
formal operasional pada tahap ini anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi.
Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis,
menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta memecahkan
berbagai masalah.
2.
Psikologi Belajar
Perkembangan
kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya
kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang
belajar sebagai proses perubahan perilaku. Namun, demikian, setiap teori itu
berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia.
Psikologi
Belajar dan Kurikulum merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana
individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang
terjadi melalui pengalaman.
Hakekat
belajar adalah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Dalam agama Islam, ilmu
mempunyai posisi yang sangat penting, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
Saw,
“Barang
siapa yang menginginkan kehidupan dunia, harus dengan ilmu. Barangsiapa yang
menginginkan kehidupan akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang
menginginkan kehidupan dunia dan akhirat, harus dengan ilmu juga”
Oleh
karena itu, menuntut ilmu (menjadi manusia pembelajar) diwajibkan bagi seorang
muslim. Rasulullah SAW telah bersabda,
“Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi muslim baik lelaki maupun wanita.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar
berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan
kepada orang supaya diketahui/diturut. Segala perubahan perilaku yang terjadi
karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar.
Perubahan yang terjadi secara insting/terjadi karena secara kebetulan
bukan termasuk belajar.
Psikologi
belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan
menjadi 3 kelas, antara lain :
a.
Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory)
Menurut
teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties)
yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat,
daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan
masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi
secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung
misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah
terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini
mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran
dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran
pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Behaviorisme muncul dari adanya
pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan
individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat.
Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang
bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang
dapat dilihat dan diamati.
Dalam
aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup:
1.
teori koneksionisme/asosiasi (S-R Bond)
2.
teori kondisioning, dan
3.
teori reinforcement.
Teori koneksionisme/asosiasi (S-R Bond). Menurut teori ini kehidupan tunduk
pada hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Belajar merupakan upaya
untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori
ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu,
law of readiness, law of exercise, dan law of effect.
Menurut
hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan
terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum
latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan
terbentuk apabila sering dilatih atau diulang – ulang. Hukum akibat (effect)
menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada
akibat yang menyenangkan.
Teori kondisioning. Menurut teori ini belajar atau pebentukan hubungan antar
stimulus dan respon perlu di bantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-anak
masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat
pertukaran jam pelajran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda
memulai pelajaran di sekolah. Tokoh utama teori ini adalah Watson terkenal
dengan percobaan conditioning pada anjing.
Teori reinforcement, kalau pada teori kondisioning, kondisi diberikan kepada
stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan kepada respons. Karena anak
belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain anak menguasai apa yang di
pelajarinya (respon) maka guru member angka tinggi, pujian, mungkin juga
hadiah. Angka tinggi, pujian, dan hadiah merupakan reinforcement, supaya pada
kegiatan belajarnya akan lebih giat dan bersungguh-sungguh. Tokoh utamanya
adalah C.L Hull.
c.
Organismic/Cognitive Gestalt Field
Menurut
teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan
kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan
hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini
dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut
tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus
sehingga terjadi suatu proses pembelajaran.
Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai
pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan
koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran,
belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara
individu dengan lingkungannya.
Belajar
menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan
metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik
dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada
masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk
mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip
maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain ;
ü Belajar
berdasarkan keseluruhan
Prinsip
ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang
yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang
luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan
pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.
ü Belajar
adalah pembentukan kepribadian
Anak
dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak dibimbing untuk mendapat
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi
manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan
dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program
pembelajaran yang terpadu.
ü Belajar
berkat pemahaman
Belajar
merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan,
dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan
bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud
pemahaman.
ü Belajar
berdasarkan pengalaman
Proses
belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses
pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran
melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan
sejenisnya
ü Belajar
adalah proses berkelanjutan
Belajar
adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal
ini dilakukan karena faktor kebutuhan.
Seperti
Hadist Rasulullah Saw, yang menyuruh kita untuk terus belajar atau menuntut
ilmu yang berbunyi:
اطلبوا
العلم من المهد إلى اللØد.
“Carilah ilmu semenjak dari
ayunan sampai liang lahat”.
Dan
Nabi Saw juga bersabda yang artinya:
”Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina, karena
menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya para malaikat
meletakkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena senang (rela)
dengan yang ia tuntut” (HR. Ibnu Abdil Bar).
Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam
pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada
tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik. Keberhasilan
belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut
minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan
dan diperlukan.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kurikulum
merupakan salah satu komponen yang memiliki peran sangat penting. Landasan
pengembangan kurikulum seperti sebuah pondasi bangunan. Persoalan mengembangkan
isi dan bahan pelajaran serta bagaiman cara belajar siswa bukanlah suatu proses
yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari
visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menentukan tujuan erat
kaitannya dengan persoalan system nilai dan keutuhan masyarakat.
Pengembangan
kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan.
Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara
termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu
dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam
pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses
pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan.
Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain;
psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi
perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan
kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum
perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap
peserta didik.
Psikologi
belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang
melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga
terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar,
antara lain;
1. teori disiplin daya/disiplin mental
(faculty theory),
2. behaviorisme, dan
3. organismic/cognitive
gestalt field.
DAFTAR
PUSTAKA
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya
Sukarman, Dadang. Pengembangan
Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Teknologi Pendidikan – UPI. Bandung:
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar