Jumat, 25 Januari 2013

LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM



BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, kami mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum.
Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan.




BAB II
PEMBAHSAN
 LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan, pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.
Peserta didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, social emosional, moral, dan sebagainya). Manusia berbeda dengan makhluk lainnya contohnya Manusia berbeda dengan binatang, karena kondisi psikologis manusia lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks di bandingkan dengan bintang.
Allah Swt menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih mulia dibanding makhluk  lainnya, yaitu dalam QS. Al Isro: 70,
 Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Allah melebihkan Manusia dari hewan, dengan akal dan daya cipta, sehingga menjadi makhluk bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan syetan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa tantangan.
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.
Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup. Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian anak didik bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.
            Bukti yang terkenal berkaitan dengan pengaruh lingkungan dalam perkembangan adalah seperti hadist di mana Rasulullah Saw bersabda,
Yang artinya: “Tiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (suci membawa disposisi Islam). Orang tuanyalah yang membuat ia Yahudi (jika mereka Yahudi), Nasrani (jika mereka Nasrani), atau Majusi (jika mereka Majusi)”. (HR. Muslim)
Hadist ini mengatakan bagaimana orang tua mempengaruhi agama, moral, dan psikologi umum dari sosialisasi dan perkembangan anak-anak mereka. Hadis ini merupakan bukti tekstual yang paling terkenal dari pengaruh lingkungan terhadap seseorang.
Dalam Hadis lain, Nabi Muhammad Saw, menunjukkan bagaimana teman dapat mempengaruhi seluruh perilaku, karakter dan perbuatan seseorang. Dengan memberikan perumpamaan, Nabi Muhammad Saw, bersabda:
 yang artinya “Persamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti pedagang minyak kesturi dan peniup api tukang besi. Si pedagang minyak kesturi mungkin akan memberinya padamu, atau engkau membeli kepadanya, atau setidaknya engkau dapat memperoleh bau yang harum darinya, tapi si peniup api tukang besi mungkin akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau tidak sedap daripadanya”. (HR Bukhari).
Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya.
Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya menjadi lebih baik berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Menurut Abdurahman an-Nahlawi (1983:196) sebagaimana yang dikutib oleh Abdul Majid dalam bukunya Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, menjelaskan bahwa kurikulum Islami harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:[1]

Pertama, memiliki sistem pengajaran dan matrei yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia.
Kedua, harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, baik dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal maupun sosial.
Ketiga, harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkatan pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
Keempat, memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyagkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah pelayanan kesehatan, jaminan keamanan, perkantoran, kebudayaan atau aspek-aspek hasil peradaban lainnya.
Kelima, tidak bertentanagan dengan konsep-konsep Islam. Mengacu pada kesatuan Islam, dan selaras dengan integrasi psikologi yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem maupun realitas alam, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai bidang ilmu.
Keenam, harus realistis sehingga dapat diterpakan selaras dengan kesanggupan negara yang hendaka menerapkannya sehingga sesuai dngan tuntutan dan kondisi negara itu sendiri.
Ketujuh, harus memilih metode yang relastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan dan keadaan tempat ketika kurikulum itu ditetapkan. Yang taka kalah pentingnya adalah kurikulum itu harus selarasdengan berbagai respon sehingga sesuai dengan perbedaan individu.
Kedelapan, harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda. Pada dasarnya kurikulum islami memiliki kelbihan berupa metode pendidikan yang sahih dan berdampak jauh kedepan serta memiliki berbagai kegiatan islami yang berhasil dan tersaji dengan jelas.
Kesembilan, harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkatan penguasaan bahasa yang dicapai oleh anak. Hal ini memerlukan studi psikologis, fase-fase perkembangan dan kemampuan generasi muda muslim.
Kesepuluh, memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktifitas langsung seperti ; berjihad, dakwah islam, serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan ini dapat mewujudkan seluruh rukun islam dan syi’arnya, metode pendidikan dan pengajarannya, serta etika dalam kehidupan siswa secara individu dan sosial.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
1.      Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.

2.       Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
1.      Motif: sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan  untuk melakukan suatu aksi.
2.      Bawaan: yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3.      Konsep diri: yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
4.      Pengetahuan: yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
5.      Keterampilan: yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab  itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar.
Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
1.      Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa. Psikologi   perkembangan  merupakan  cabang  dari  psikologi yang  mempelajari  proses  perkembangan  individu,  baik  sebelum maupun  setelah  kelahiran  berikut  kematangan  perilaku"  (J.P. Chaplin,  1979).  Sementara  itu  Ross  Vasta,  dkk.  (1992) mengemukakan  bahwa  psikologi  perkembangan  adalah  "Cabang psikologi  yang  mempelajari  perubahan  tingkah  laku  dan kemampuan  sepanjang  proses  perkembangan  individu  dari mulai masa  konsepsi  sampai  mati".

a.     Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan  dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini banyak diarahkan mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita).
Menurut mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[2]
Secara psokologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memperhatikan kondisi psikologis perkembangan dan belajar anak.
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiaan, tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Seorang anak mungkin lebih cepet perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap lainnya, atau perkembangan aspek tertentu lebih cepat di bandingkan dengan aspek lainnya. 
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping persamaannya.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru, tetapi justru akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori perkembangan anak.
b.     Teori perkembangan
Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu
       I.            pendekatan pentahapan (stage approach),
    II.            pendekatan diferrensial (diferential approach), dan
 III.            pendekatan ipsatif (ipsative approach).
Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya.

Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status social-ekonomi dan sebagainya.

Pendekatan isaptif merupakan pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu.

Dari tiga pendekatan itu yang banyak di anut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan penahapan. Karena pendekatan ini lebih jelas menggambarkan proses ataupun urutan perkembangan dan kemajuan individu.

Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja.

    Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan.
1.      Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap perkembangan fisik.
2.      Masa anak (childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitive.
3.      Masa remaja awal (pubescence), usia 12-15 tahun, masa bertualang yang di tandai dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat.
4.      Masa remaja (adolescene), usia 15-25 tahun, masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual, moral, dan kata hati.

Disamping itu perkembangan manusia juga dapat ditinjau menurut Al Qur’an. Seperti Firman Allah Swt dalam surah Al Mu’minuun (23) : 12-14


12 Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”
13 “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”
14 “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”

Allah Swt, juga berfirman dalam surah Al-Mu’min (40) ayat 67:


 “ Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)”.

Di dalam QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14 dan Al-Mu’min (40) ayat 67 ini, dijelaskan pertumbuhan dan perkembangan manusia prantal yaitu:

1.      Fase Nuthfah (tetesan spermatozoa)
2.      Fase Alaqoh atau fase gumpalan darah atau yang melekat pada dinding rahim.
3.      Fase Mudhghah (gumpalan daging)
4.      Fase terbentuknya tulang yang terbalut oleh daging jaringan dan otot
5.      Fase janin dalam bentuk sempurna
6.      Fase bayi dan anak-anak
7.      Fase baligh hingga dewasa
8.      Fase lanjut usia sampai kepada ajal.  

Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi dalam lingkungannya.

Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu:
1.      Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun
2.      Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
      3.      Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun
      4.      Tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun

            Tahap sensorimotor pada tahap/masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflek, bahasa awal, waktu sekarang, dan ruang yang dekat saja.

            Tahap praoperasional atau prakonseptual disebut juga masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas.

            Tahap konkret operasional pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.

            Tahap formal operasional pada tahap ini anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta memecahkan berbagai masalah.
2. Psikologi Belajar
Perkembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar sebagai proses perubahan perilaku. Namun, demikian, setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia.
Psikologi Belajar dan Kurikulum merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman.
Hakekat belajar adalah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Dalam agama Islam, ilmu mempunyai posisi yang sangat penting, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw,
“Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, harus dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan akhirat, harus dengan ilmu juga”

Oleh karena itu, menuntut ilmu (menjadi manusia pembelajar) diwajibkan bagi seorang muslim. Rasulullah SAW telah bersabda,

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim baik lelaki maupun wanita.”
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui/diturut. Segala perubahan perilaku yang terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting/terjadi  karena secara kebetulan bukan termasuk belajar.
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain :
a. Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup:
1.      teori koneksionisme/asosiasi (S-R Bond)
2.      teori kondisioning, dan
3.      teori reinforcement.
Teori koneksionisme/asosiasi (S-R Bond). Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu, law of readiness, law of exercise, dan law of effect.
Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang – ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
Teori kondisioning. Menurut teori ini belajar atau pebentukan hubungan antar stimulus dan respon perlu di bantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat pertukaran jam pelajran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda memulai pelajaran di sekolah. Tokoh utama teori ini adalah Watson terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing.
Teori reinforcement, kalau pada teori kondisioning, kondisi diberikan kepada stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan kepada respons. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain anak menguasai apa yang di pelajarinya (respon) maka guru member angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian, dan hadiah merupakan reinforcement, supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan bersungguh-sungguh. Tokoh utamanya adalah C.L Hull.
c. Organismic/Cognitive Gestalt Field
Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran.
 Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain ;
ü  Belajar berdasarkan keseluruhan
Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.
ü  Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak dibimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu.


ü  Belajar berkat pemahaman
Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.

ü  Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya
ü  Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan.
Seperti Hadist Rasulullah Saw, yang menyuruh kita untuk terus belajar atau menuntut ilmu yang berbunyi:
اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد.
Carilah ilmu semenjak dari ayunan sampai liang lahat”.
Dan Nabi Saw juga bersabda yang artinya:

”Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina, karena menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut” (HR. Ibnu Abdil Bar).

Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran sangat penting. Landasan pengembangan kurikulum seperti sebuah pondasi bangunan. Persoalan mengembangkan isi dan bahan pelajaran serta bagaiman cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan system nilai dan keutuhan masyarakat.
Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain; psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.
Psikologi belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain;
1.      teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory),
2.      behaviorisme, dan
3.      organismic/cognitive gestalt field.



DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Sukarman, Dadang. Pengembangan Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Teknologi Pendidikan – UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007




[1]   Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 79-80
[2]      Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja  Rosdakarya, 1997)  hlm. 46-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar