BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul)
adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah
PAI. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Melihat
dari fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana
ushul dalam menggali hukum syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting
untuk di pelajari.[1]
Maka dari itu, kami
selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apakah tujuan mempelajari kaidah-kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah?
III.
Tujuan Pembahasan
Makalah
ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
tujuan mempelajari kaidah-kaidah.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYAH
Sebagai
studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh dan
diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan
kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang
perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menambahkan bahwa,
kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan
kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang
tidak mereka sadari.”
Sedangkan
dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad
asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum
yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i
yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum
yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi
lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan
dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi,
dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Menurut
Bani
Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan
hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya.
Kaidah
Fiqhiyah disebut juga kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid
mengisntinbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan
manusia.
Titik tolak pelaksanaan
hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang merupakan
stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan
bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap
perbuatan harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan.
1. Tujuan Mempelajari Kaidah Fiqhiyah
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul
fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap
berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan
undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas
terhadap suatu cabang undang-undang. [2]
Dibuat demikian agar prinsip-prisip
umum, qanun-qanun yang mulia ini menjadi petunjuk bagi mujtahid dalam
menetapkan hukum dan menjadi pelita dibawah sinaran nyala api untuk mewujudkan
keadilan dan kemashlahatan ummat. Lebih lanjut Khallaf
menyatakan bahwa diatara nash-nash tasyrik yang telah menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun kulliyah yang dengan dia diterangi segala
undang-undang. Dan diantara nash-nash tasyrik ada yang menetapkan hukum-hukum
yang asasi dalam cabang fiqh yang bersifat amali. Dan Al-Qur’an membatasi diri
untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap undang-undang agar
membuahkan hukum. Keluasan dan kelastisan hukum nash-nash Al-Qur’an itu merupakan koleksi membentuk undang-undang
yang terdiri dari daar dan prinsip umum yang membantu ahli undang-undang dalam
usaha mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat di setiap masa dan tidak
bertentangan
dengan setiap undang-undang yang sudah adil yaitu mewujudkan kemaslahatan
masyarakat.
Ungkapan khallaf tersebut
megisyaratkan bahwa lapangan fiqh begitu luas, karena mencakup berbagai hukum
furuq, karena itu perlunya kristalisasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa
kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah yang
serupa.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah
fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam megisthimbatkan hukum bagi
suatu masalah, yakni menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu
kaidah.
Dalam
kitab faraidul bahiyah disebutkan, yang artinya:
“Sesungguhnya
cabang-cabang masalah fiqh itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah
fuqhiyah, maka menghafalkan kaidah itu besar fungsinya.” (Asjmuni A. Rahman,
1976:17 )
Selanjutnya
Imam Abu Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah suatu jalan untuk mendapat suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
tersebut.
Sedang
Al-Qrafi dalam furu’nya mengatakan bahwa seseorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu
maka hasil ijtihadnya
banyak yang bertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang
pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya. (Asjmuni A.
Rahman, 1976:17-19)
Karena
itu setiap fuqaha selalu mempunyai kaidah kulliyah sebagai hasil cerminan dari
hasil ijtihad furu’nya da mudah dipahami oleh pengikutnya.[3]
B.
PENGERTIAN KAIDAH USHULIYAH
Dilihat
dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna
tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu
bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain.
Sedangkan fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai
perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian
ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dengan
demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan
terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’
sahabat.
Dr.
Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri
diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.
Defenisi
ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Prof.
Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan
hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Defenisi
yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk
dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan
fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.
1.
Tujuan Mempelajari Kaidah Ushuliyah
Kaidah-kaidah
ushuliyah
merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode istimbathiayah dari
sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi ( kebahasaan ) maupun tarkib (
susunan ) dan uslub-uslubnya ( gaya bahasa ). Karena itu semua metode
istimbathiah harus mengacu pada kaidah yang telah di tetapkan dan di sepakati
bersama.
Seseorang
akan mampu berbicara tetang hukum jika dia telah menguasai kaidah-kaidah
usuliyah walaupun pengetahuan tentang dalil nash kurang dikuasai. Misalnya
seseorang dihadapka nikah sebagai jalan untuk melestarikan keturunan ( li hifz
nasl ) namu pilihanya nonmuslim. Kasus seperti ini, seseorang tak perlu
lama-lama mencari nash dalam Al-Qur’an atau assunnah, tetapi cukup
mempertimbangkan hierarki kebutuhan manusia yang dharuriah (primer), yaitu
memelihara agama lebih penting dari pada memelihara keturunan, bila keduanya
bertentangan maka maka memelihara agama harus di dahulukan, karena ia menduduki
hierarki yang tertinggi, jadi kasus diatas tidak diperkenankan, kecuali
pernikahan antar agama itu membawa maslahah yang pasti, misalnya seseorang
menikah dengan seseorang nonmuslimah, karena pada lazimnya seseorang istri
mengikuti suamiya.
C. MACAM-MACAM QAIDAH FIQHIYAH
Macam-macam
qaidah fiqhiyah ini ada dua puluh lima, yaitu:
1.
“ Ijtihad itu tidak
batal karena ijtihad”
2.
“Hukum
had gugur karena samar-sama”
3.
“Perlakuan
pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan”
4.
“
Keluar dari perselisihan, terpuji”
5.
“ Mengutamakan orang lain dalam soal ibadah makruh dan
dalam soal keduniaan disukai”
6.
“
Pengikut itu di ikuti”
7.
“
Harim mempunyai hukum seperti harim lahu”
8.
“Sesuatu
yang banyak di lakukan lebih banyak keutamaannya”
9.
“Fardhu itu lebih
baik daripada sunnat”
10.
“Sunnat
lebih longgar daripada fadhu”
11.
“Yang
mudah tidak gugur karena yang sukar”
12.
“Apabila dua buah perkara yang sama jenis dan tidak
berbeda maksudnya berkumpul, maka salah satunyua masuk kepada yang lain.
13.
“
Bila halal dan haram berkumpul, dimenangkan yang haram”
14.
“ sesuatu yang ditetapkan menurut syara’ didahulukan
daripada yang ditetapkan menurut syarat”
15.
“ sesuatu yang haram
menggunakannya diharamkan mengambilnya”
16.
“ sesuatu
yang haram mengambilnya diharamkan memberinya.”
17.
“
Perwalian khusus lebih kuat daripada perwalian umum.”
18.
“ Tidak
dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya.”
19.
“ rela
terhadap sesuatu, rela terhadap apa yang dia lahirkan.”
20.
“ barang siapa mempercepat sesuatu sebelum masanya
dihukum haram menggunakannya.”
21.
“
sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya.”
22.
“
yang sudah di-masyghul-kan dengan sesuatu tidak di-masyghul-kan lagi.”
23.
“ sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil diantara keduanya secara umum.”
“ sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil diantara keduanya secara umum.”
24.
“ Yang
wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali oleh yang wajib.”
25.
“ Hukum itu berputar bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.”[4]
“ Hukum itu berputar bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.”[4]
D.
CONTOH KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH
SERTA DASAR-DASAR
PENGAMBILANNYA
.
1. الامـور
بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang
namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita
tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji
dll. Kita
pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar
kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ
ثَوَابَ الآخِرَةِ
Artinya:
”Barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat.”(QS. Ali-Imran:
145)
2. الضرر يـزال
(Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang
banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang
yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan
beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar
kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
Artinya:
“Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.”
3.
الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Contoh:
ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah
mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum,
misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak
melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat
setempat.
Kaidah
tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada
perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang
terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak
semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”,
berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena
tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
4.
لايزال بالشـك اليـقـين (Keyakinan tidak dapat hilang karena
adanya keraguan)
Contoh:
kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita
masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi
kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah,
meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
5.
تـجـلب التـيسـير المـشـقة (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Contoh:
apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai
pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat
tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita
tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang
yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai
pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila
harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. [5]
Qaidah
ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Surat
An-Nisa’ ayat 28:
Artinya:
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
E. PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAN
KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH
Perbedaan
antara keduanya adalah sebagi berikut:
1. Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah
ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum,
ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan,
kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah
aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami
bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai
istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya
kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal
dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum
syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil
(baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda
dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan.
Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah
ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya
terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah
ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau
bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih
maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain
5. Kaidah-kaidah
ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah
ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang
qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah
bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain
mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7. Kaidah-kaidah
ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
8. Kaidah Ushuliyah
diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk
meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah
kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah
fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa
tashiliha.[6]
BAB III
PENUTUPAN
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan.
Dilihat
dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan
dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi
pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang
menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara
kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk
dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan
fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
Wahhab Abdul,
Ilmu
Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April 2003 M
Muchlis
Usman,
Kaidah
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta:1993.
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal,
cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam, cet.1, Alma’rif, Bandung: 1986.
[1] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan
Awal, cet.1, (Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh:2011), hal.4
[2] Khallaf, Wahhab Abdul, Ilmu
Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/
April 2003 M
[3] Mukhlis Usman, Kaidah- Kaidah Ushuliyah Dan
Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, cet.4, ( PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2002), hal.79
[4] Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami, cet.1, (Bandung: Alma’arif,1986), hal.522
[5] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh,....... hal. 80
[6] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah
Pengenalan Awal,..... hal. 4
hebat mas, ijin ngopy ....
BalasHapusKopi ya
BalasHapusmakasih banyak ustadz..
BalasHapus