Minggu, 20 Januari 2013

tafsir ayat tentang warisan

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Manusia dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah keturunannya.

Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya. Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum) wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.

B.     Rumusan Masalah
Untuk lebih mendukungnya penjelasan dalam makalah ini maka pemakalah akan menrumuskan beberapa permasalah yang akan dibahas sebagai berikut :
1.      Bagaimana tafsir ayat yang menerangkan tentang wasiat?
2.      Bagaimana tafssir ayat yang menerangkan tentang saksi dalam wasiat?





BAB II
 PEMBAHASAN
Tafsir  ayat – ayat tentang warisan / wasiat
A.    Surah An-nisaa
a. An-Nisaa Ayat 7

Artinya
            “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Penjelasan  kata- kata

1.       لِلرِّجَالِ  dan لِلنِّسَاءِ . kata rijal dan nisa di sini adalah bentuk jamak dari rajul (untuk rijal) dan imra`atun (untuk nisa). Meski secara bahasa rajul dan imro`ah adalah untuk orang dewasa, tetapi di dalam ayat ini yang dimaksud bukan hanya orang dewasa saja. Anak-anak kecil juga masuk di dalamnya. Sehingga, meskipun yang ditinggal mati adalah anak kecil, dia tetap mendapatkan harta warisan orangtua atau kerabatnya.

2.                              Ayat ini turun untuk membantah tradisi jahiliyah yang mengatakan bahwa yang berhak mendapatkan harta warisan hanya orang-orang yang bisa berperang saja. Sehingga anak kecil, wanita, orang dewasa yang tak bisa perang tidak mendapatkan warisan. Tradisi tersebut adalah tradisi yang zhalim. Islam datang membawa keadilan dan menghapuskan tradisi jahiliyah tersebut. Laki-laki ataupun perempuan dalam semua umur tetap mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagian yang telah ditentukan oleh Allah, selama mereka berhak mendapatkannya.

3.       Mengapa kata نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ  diulang dua kali? Ini sebagai penegasan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja di hadapan Allah. Yang membedakan antara mereka adalah ketakwaan saja.

4.                               Diantara sebab utama seseorang mendapatkan harta warisan adalah adanya hubungan nasab atau hubungan darah kekerabatan. Jadi sekiranya ada suami istri belum mempunyai anak, lalu mereka mengangkat anak, maka kelak anak tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya. Dalam hal ini, orang tua angkat hendaknya menuliskan wasiat bagi anak angkatnya, sebab bisa saja anak anagkatnya itu telah banyak berjasa untuk mengurusi keperluan orang tua angkatnya sehingga dia juga berhak mendapatkan kesejahteraan.

5.    Kata  نَصِيبًا مَفْرُوضًا  menegaskan bahwa bagian harta warisan itu sudah ditentukan oleh Allah, entah itu sedikit atau banyak.

Tafsir Surah An Nisaa' 7

            Abu Syaikh dan oleh Ibnu Hibban mengetengahkan dalam Kitabul Faraaidh dari jalur Kalbi dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas, "Orang-orang jahiliah biasanya tidak mewariskan harta kepada kaum wanita dan anak laki-laki yang masih kecil sebelum balig.
Kebetulan seorang laki-laki Ansar bernama Aus bin Tsabit mati meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih kecil. Maka datanglah dua orang saudara sepupu mereka yang bernama Khalid dan yang menjadi ashabah, lalu mengambil semua harta itu. Maka datanglah istrinya, menemui Rasulullah saw. lalu menceritakan hal itu kepadanya. Jawabnya, 'Saya belum tahu apa yang harus saya katakan', maka turunlah ayat, 'Bagi laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu bapak...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 7)

Sebab turun ayat ini

            Diriwayatkan sebab turun ayat ini sewaktu 'Aus bin Samit al-Ansari meninggal dunia, ia meninggalkan seorang istri yaitu Ummu Kahlan dan tiga orang anak perempuan. Kemudian dua orang anak paman 'Aus yakni Suwaid dun Arfatah melarang memberikan bagian harta warisan itu kepada istri dan ketiga anak perempuan 'Aus itu, sebab menurut adat jahiliah kanak-kanak dan perempuan tidak mendapat warisan apa-apa karena tidak sanggup menuntut balas (bila terjadi pembunuhan dsb). Kemudian istri 'Aus mengadu kepada Rasulullah saw lalu Rasul memanggil Suwaid dan Arfatah. Keduanya menerangkan kepada Rasulullah bahwa anak-anaknya tidak dapat menunggang kuda, tidak sanggup memikul beban dan tidak bisa pula menghadapi musuh.

            Kami bekerja sedang mereka tidak berbuat apa-apa. Maka turunlah ayat ini menetapkan hak wanita dalam menerima warisan sebagaimana dijelaskan ayat waris. Allah menerangkan bahwa apabila anak yatim mendapat peninggalan harta dari kedua orang tuanya atau kerabatnya yang lain mereka sama mempunyai hak dan bagian. Masing-masing mereka akan mendapat bagian yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Tak seorangpun dapat mengambil atau mengurangi hak mereka.


 

(1)    Shahih. HR. Ahmad (1/235) dan Abu Daud (5112)

b. An-Nisaa ayat 8

Artinya
            Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat [270], anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Tafsir  Surah An Nisaa' 8

            Kemudian Allah menjelaskan lagi bahwa apabila pada waktu diadakan pembagian harta warisan ikut hadir pula kaum kerabat yang tidak berhak mendapat warisan. begitu juga para fakir miskin atau anak yatim. maka kepada mereka sebaiknya diberikan juga sedikit bagian sebagai hadiah menurut keikhlasan para ahli waris supaya mereka tidak hanya menyaksikan saja ahli waris mendapat bagian. Dan kepada mereka seraya memberikan hadiah tersebut diucapkan kata-kata yang menyenangkan hati mereka. ini sangat bermanfaat sekali untuk menjaga silaturrahim dan persaudaraan agar tidak diputuskan oleh hasad dan dengki. Di samping itu para ahli waris menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT.









c. An-Nisaa ayat 11

Artinya
            Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir  Surah An Nisaa' 11

            Adapun sebab turun ayat ini menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dun Tirmizi dari sahabat Jabir yang artinya Telah datang kepada Rasulullah saw istri Saad bin Rabi' dan berkata "Wahai Rasulullah ini adalah dua anak perempuan Sa'ad bin Rabi'. Ia telah gugur dalam perang Uhud, seluruh hartanya telah diambil pamannya dan tak ada yang ditinggalkan untuk mereka sedangkan mereka tak dapat nikah bila tidak memiliki harta". Rasulullah saw. berkata, "Allah akan memberikan hukumnya", maka turunlah ayat warisan. Kemudian Rasulullah saw mendatangi paman kedua anak tersebut dun berkata: "Berikan dua pertiga dari harta Sa'ad kepada anaknya dan kepada ibunya berikan seperdelapannya sedang sisanya ambillah untuk kamu". Dalam ayat ini Allah menyampaikan wasiat yang mewajibkan kepada kaum muslimin yang telah mukalaf untuk menyelesaikan harta warisan bagi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya baik mereka laki-laki atau perempuan. Apabila ahli waris itu sendiri terdiri dari anak-anak laki-laki dan perempuan maka berikan kepada yang laki-laki dua bagian dan kepada yang perempuan satu bagian. Adapun hikmah anak laki-laki diberikan dua bagian yaitu karena laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah istrinya serta anaknya, sedang perempuan hanya memerlukan biaya untuk diri sendiri. Adapun apabila ia telah menikah maka kewajiban nafkah itu ditanggung oleh suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian. Yang dimaksud anak atau ahli waris lainnya dalam ayat ini adalah secara umum. Kecuali karena ada halangan yang-menyebabkan anak atau ahli waris lainnya tidak mendapat hak warisan. Adapun yang dapat menghalangi seseorang menerima hak warisannya adalah:

1. Berlainan agama, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:

لا يتوارث أهل ملتين
 
Artinya:
            "Tidak ada waris mewarisi antara orang-orang yang berlainan agama"
(H.R. Ibnu Majah)

2. Membunuh pewaris. ini berdasarkan hadis dan ijmak.
3. Bila ahli waris menjadi hamba sahaya.
4. Harta peninggalan para nabi tidak boleh dibagi-bagi sebagai warisan.

            Selanjutnya ditentukan oleh Allah SWT apabila seorang wafat hanya mempunyai anak perempuan yang jumlahnya lebih dan dua orang dan tidak ada anak laki-laki, maka mereka keseluruhannya mendapat dua pertiga dari jumlah harta, lalu dibagi rata di antara mereka masing-masing. Akan tetapi apabila yang ditinggalkan itu anak perempuan hanya seorang diri maka ia mendapat seperdua dari jumlah harta warisan. Sisa harta yang sepertiga (kalau hanya meninggalkan dua anak perempuan) atau yang seperdua. (bagi yang meninggalkan hanya seorang anak perempuan) dibagikan kepada ahli waris yang lain sesuai dengan ketentuan masing-masing.

            Perlu ditambahkan di sini bahwa menurut bunyi ayat, anak perempuan mendapat 2/3 apabila jumlahnya lebih dari dua atau dengan kata lain mulai dari 3 ke atas. Tidak disebutkan berapa bagian apabila anak perempuan tersebut hanya dua orang. Menurut pendapat Jumhur Ulama bahwa mereka dimasukkan pada jumlah tiga ke atas mendapat 2/3 dari harta warisan. Dari perincian tersebut di atas diketahuilah bahwa anak perempuan tidak pernah menghabiskan semua harta. Paling banyak hanya memperoleh 1/2 dari jumlah harta. Berbeda dengan anak laki-[2]laki, apabila tidak ada waris yang lain dan ia hanya seorang diri, maka ia mengambil semua harta warisan. Dan apabila anak laki-laki lebih dari seorang maka dibagi rata di antara mereka.
Tentang hikmah dan perbedaan ini telah diterangkan di atas. Kemudian Allah SWT menerangkan pula tentang hak kedua orang tua. Apabila seorang meninggal dunia dan ia meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan, maka masing-masing orang tua yaitu ibu dan bapak mendapat 1/6 dari jumlah harta. Sebaliknya apabila ia tidak meninggalkan anak, maka ibu mendapat 1/3 dari jumlah harta dan sisanya diberikan kepada bapak Apabila yang meninggal itu selain meninggalkan ibu-bapak ada pula saudara-saudaranya yang lain, laki-laki atau perempuan yaitu dua ke atas menurut Jumhur maka ibu mendapat 1/6 dan bapak mendapat sisanya Setelah Allah menerangkan jumlah pembagian untuk anak, ibu dan bapak, diterangkan lagi bahwa pembagian tersebut barulah dilaksanakan setelah lebih dahulu diselesaikan urusan wasiat dan hutangnya. Walaupun dalam ayat Allah mendahulukan penyebutan wasiat dari hutang namun dalam pelaksanaannya menurut Sunah Rasul hendaklah didahulukan pembayaran hutang.
Di antara orang tua dan anak, kamu tidak mengetahui mana yang lebih dekat atau yang lebih memberi manfaat bagi kamu. Oleh karena itu janganlah kamu membagi harta warisan sebagaimana yang dilakukan oleh orang jahiliah yang memberikan hak warisan hanya kepada orang yang dianggap dapat ikut perang akan membela keluarganya dan tidak memberikan hak warisan sama sekali bagi anak kecil kaum wanita. Ikutilah apa yang ditentukan Allah karena Dialah yang lebih tahu mana yang bermanfaat untuk kamu baik di dunia maupun di akhirat Hukum warisan tersebut adalah suatu ketentuan dari Allah yang wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketahuilah bahwa Allah Mengetahui segala Sesuatu dan apa yang ditentukannya mestilah mengandung manfaat untuk kemaslahatan manusia



















d. An-Nisaa ayat 12
Artinya
            “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) [274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.



Tafsir Surah An Nisaa' 12
            Allah melanjutkan lagi perincian pembagian hak waris untuk suami atau istri yang ditinggal mati. Suami yang mati istrinya jika tidak ada anak maka ia mendapat 1/2 dari harta, tetapi bila ada anak, ia mendapat 1/4 dari harta warisan.. ini juga baru diberikan setelah lebih dahulu diselesaikan wasiat atau hutang almarhum. Adapun istri apabila mati suaminya dan tidak meninggalkan anak maka ia mendapat 1/4 dari harta, tetapi bila ada anak, istri mendapat 1/8. Lalu diingatkan Allah bahwa hak tersebut baru diberikan setelah menyelesaikan urusan wasiat dan hutangnya. Kemudian Allah menjelaskan lagi bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan bapak maupun anak, tapi hanya meninggalkan saudara laki-laki atau wanita yang seibu Saja maka masing-masing saudara seibu itu apabila seorang diri bagiannya adalah 1/6 dari harta warisan dan apabila lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan kemudian dibagi rata di antara mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Allah menerangkan juga bahwa ini dilaksanakan setelah menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan wasiat dan hutang almarhum. Allah memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi mudarat kepada ahli waris. Umpama seorang berwasiat semata-mata agar harta warisannya berkurang atau berwasiat lebih dari 1/3 hartanya. Ini semua memberi kerugian bagi para ahli waris



e. An-Nisaa ayat 13
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a013.png
Artinya
            (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.

Tafsir Surah An Nisaa' 13

            Semua ini merupakan ketentuan dari Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh orang yang bertakwa kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang lebih bermanfaat untuk manusia dan Maha Penyantun. Dia tidak segera memberi hukuman kepada hamba-Nya yang tidak taat agar ada kesempatan baginya untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang diridai Nya. Allah menjelaskan pula bahwa barang siapa yang taat melaksanakan apa yang disyariatkan Nya dan menjauhi apa yang dilarang Nya, kepada mereka akan diberikan kebahagiaan hidup di akhirat berupa surga yang penuh dengan kenikmatan dan mereka akan kekal di dalamnya selamanya. Itulah suatu kesenangan yang tiada taranya bagi manusia yang mengerti.

http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a014.png
Artinya
            Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Tafsir Surah An Nisaa' 14

            Sebaiknya barang siapa yang durhaka dan tidak mematuhi apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul Nya maka Allah memberikan ancaman akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka yang penuh siksa dan derita. Mereka akan kekal di dalamnya dan tak ada kemungkinan untuk merasakan kenikmatan seperti dalam surga. Hal tersebut merupakan suatu siksa yang pedih dan sangat menghinakan.

f. An-Nisaa ayat 33

http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a033.png



Tafsir Surah An Nisaa' 33
            Secara umum ayat ini menerangkan bahwa semua ahli waris baik ibu bapak dan karib kerabat maupun orang-orang yang terikat dengan sumpah setia, harus mendapat bagian dari harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing.
Akan tetapi ada beberapa hal yang ada baiknya disebutkan di sini, antara lain: [3]

1. Kata "mawalia" yang diterjemahkan dengan "ahli waris" adalah bentuk jamak dari "maula" yang mengandung banyak arti, antara lain:
a) Tuan yang memerdekakan hamba sahaya (budak) b) Hamba sahaya yang dimerdekakan. c) Ahli waris asabah atau bukan.
2. Asabah, ialah ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan, setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang mempunyai bagian tertentu atau berhak menerima semua harta warisan apabila tidak ada ahli waris lainnya.

Yang paling tepat maksud dari kata-kata "mawalia" dalam ayat ini adalah ahli, waris asabah" sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

الحقو الفرائض بأهلها فما بقى فهو لاولي رجل ذكر
 
Artinya:
            "Berikanlah olehmu harta warisan itu kepada masing-masing yang berhak. Yang masih tinggal berikanlah kepada laki-laki, karib kerabat yang terdekat"

Dan sabda Rasulullah saw:

جاءت امرأة سعد بن الربيع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بابنتيها من سعد فقالت : يا رسول الله هاتان بنتا سعد بن الربيع قتل أبوهما معك في أحد شهيدا وإن عمهما أخذ مالهما فلم يدع لهما مالا ولا تنكحان إلا بمال فقال : يقضي الله في ذلك فنزلت آية الميراث فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمهما فقال : أعط ابنتي سعد الثلثين وأمهما الثمن وما بقى فهو لك (رواه الخمسة إلا النسائي)

Artinya:
            "Janda Sa'ad bin Rabi' datang kepada Rasulullah saw bersama-sama dua orang anaknya perempuan dari Sa'ad, lalu ia berkata: "Ya Rasulullah! ini dua orang anak perempuan dari Sa'ad bin Rabi' yang mati syahid sewaktu perang Uhud bersama-sama dengan engkau. Dan sesungguhnya paman dua anak ini telah mengambil semua harta peninggalan anak mereka, sehingga tidak ada yang tinggal lagi. Kedua anak ini tidak akan dapat kawin, kecuali jika mempunyai harta". Rasulullah menjawab: "Allah akan memberikan penjelasan hukumnya pada persoalan ini". Kemudian turunlah ayat mawaris, lalu Rasulullah memanggil paman dan anak perempuan Sa'ad dan berkata: "Berikanlah 2/3 kepada kedua anak perempuan Sa'ad itu, seperdelapan untuk ibu mereka, dan apa yang masih tinggal itulah untukmu"
(H.R. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
            Hukum-hukum telah ditetapkan Allah dalam ayat ini hendaklah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Barang siapa yang tidak melaksanakannya atau menyimpang dari hukum-hukum tersebut, maka ia telah melanggar ketentuan Allah dan akan mendapat balasan atas pelanggarannya itu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui segala perbuatan hamba Nya.

g. An-Nisa ayat 176

http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a176.png
Artinya
            Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) [387]. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.



Tafsir Surah An Nisaa' 176
            (Mereka meminta fatwa kepadamu) mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan anak (Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah; jika seseorang) umru-un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya (celaka) maksudnya meninggal dunia (dan dia tidak mempunyai anak) dan tidak pula bapak yakni yang dimaksud dengan kalalah tadi (tetapi mempunyai seorang saudara perempuan) baik sekandung maupun sebapak (maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan dia) maksudnya saudaranya yang laki-laki (mewarisi saudaranya yang perempuan) pada seluruh harta peninggalannya (yakni jika ia tidak mempunyai anak). Sekiranya ia mempunyai seorang anak laki-laki, maka tidak satu pun diperolehnya, tetapi jika anaknya itu perempuan, maka saudaranya itu masih memperoleh kelebihan dari bagian anaknya. Dan sekiranya saudara laki-laki atau saudara perempuan itu seibu, maka bagiannya ialah seperenam sebagaimana telah diterangkan di awal surah. (Jika mereka itu) maksudnya saudara perempuan (dua orang) atau lebih, karena ayat ini turun mengenai Jabir; ia meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa orang saudara perempuan (maka bagi keduanya dua pertiga dari harta peninggalan) saudara laki-laki mereka. (Dan jika mereka) yakni ahli waris itu terdiri dari (saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki) di antara mereka (sebanyak bagian dua orang perempuan."
Sebab turunnya ayat ini
                 Adapun sebab turunnya ayat ini adalah sebagai yang diriwayatkan Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim, demikian pula imam-imam penyusun kitab hadis lainnya dan Jabir bin Abdullah. Antara lain Jabir berkata: "Pada suatu ketika Rasulullah saw masuk ke rumahku dan aku sedang sakit keras dan dalam keadaan tidak sadar. Lalu Rasulullah saw, menumpahkan air ke mukaku sehingga aku menjadi sadar. Aku katakan kepada beliau bahwa tidak ada ahli warisku lagi, baik bapak atau anakku, maka bagaimana cara pembagian harta peninggalanku? Maka turunlah ayat ini."
                Pada permulaan surat ini yaitu pada akhir ayat 12, ada pula hukum waris kalalah, maka Al Khattabi berkata tentang kedua ayat kalalah ini: "Allah telah menurunkan dua ayat pada permulaan surat "An Nisa' dan ayat itu bersifat umum dan belum jelas benar, kalau dilihat dari bunyi ayat itu saja. Kemudian Allah menurunkan lagi ayat kalalah di musim panas yaitu ayat terakhir dari surat An Nisa'.
Pada ayat ini terdapat tambahan keterangan mengenai apa yang belum dijelaskan pada ayat pertama karena itu ketika Umar bin Khattab ditanya tentang ayat kalalah yang turun pertama kali, Ia menyuruh penanya itu untuk memperhatikan ayat kalalah kedua.

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. supaya menjawab pertanyaan yang dikemukakan [4]orang kepadanya mengenal pusaka kalalah, seperti halnya Jabir bin Abdullah yang tidak lagi mempunyai bapak dan anak, sedang dia mempunyai saudara-saudara perempuan yang bukan saudara seibu. Karena saudara perempuan yang bukan seibu belum ada ditetapkan untuk mereka bagian Tertentu dalam harta pusaka, sedang saudara seibu ditetapkan bagiannya yaitu seperenam jika saudara perempuan itu seorang saja, sepertiga bila lebih dari seorang. Pusaka yang sepertiga itu dibagi rata antara saudara-saudara perempuan ibu, berapapun banyaknya mereka, karena pusaka itu adalah pusaka yang menjadi hak ibu mereka kalau ibunya masih hidup.
Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya tentang masalah ini ialah bahwa bila seseorang meninggal sedang ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja maka saudara perempuan itu mendapat seperdua dan harta yang ditinggalkannya, jika saudara itu seorang saja.
Dia sendiri, bila saudara perempuannya itu mati lebih dahulu, berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya, dan tidak pula mempunyai bapak yang menghijab (menghalanginya) dan hak mewarisi. Dia berhak mewarisi seluruh harta peninggalan saudaranya perempuan, bila tidak ada orang yang berhak atas pusaka itu yang telah ditentukan bagiannya (ashabul furud) Tetapi bila ada orang yang berhak yang telah ditentukan bagiannya seperti suami, maka diberikan lebih dahulu hak suami itu dan selebihnya menjadi haknya sepenuhnya kalau saudara perempuan itu ada berdua, maka kedua saudaranya itu: mendapat dua pertiga. Dan bila saudara-saudaranya yang perempuan itu lebih dari dua orang, maka yang dua pertiga itu dibagi rata (sama banyak) antara saudara-saudara itu. Kalau yang ditinggalkannya itu terdiri dari saudara-saudara (seibu sebapak atau sebapak saja) terdiri saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagi antara meraka dengan ketentuan bahwa bagian yang laki-laki dua kali bagian yang perempuan, kecuali bila yang ditinggalkannya itu saudara-saudara seibu, maka saudara saudara seibu seperenam saja, karena hak itu pada asalnya adalah hak ibu mereka. Kalau tidak karena itu, tentulah mereka tidal: berhak sama sekali karena bukan pewaris-pewaris yang berhak mewarisi seluruh harta pusaka. Demikianlah yang ditetapkan Allah mengenai pusaka kalalah, maka wajiblah kaum muslimin melaksanakan ketetapan-ketetapan itu dengan seksama, agar mereka janganlah tersesat dan jangan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu adalah untuk kebaikan hamba-Nya, dan ilmu-Nya amat luas meliputi segala sesuatu di dalam alam ini.


Allah menerangkan kepadamu syariat-syariat agama-Nya (agar kamu) tidak (sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya tentang pembagian harta warisan. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Barra bahwa ia merupakan ayat yang terakhir diturunkan, maksudnya mengenai faraid.  
B.     Al baqarah


a.      Al baqarah ayat 180

http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s002/a180.png
Artinya
              Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf [112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Tafsir Surah Al Baqarah 180

            Secara umum menurut bunyi ayat 180 di atas Allah mewajibkan berwasiat bagi seorang yang beriman yang telah merasa bahwa ajalnya sudah dekat dengan datangnya tanda-tanda bahwa dia akan mati. Kewajiban berwasiat itu, ialah kepada orang-orang yang mempunyai harta, agar sesudah matinya dapat disisihkan sebagian harta yang akan diberikan kepada ibu bapak dan karib kerabatnya dengan baik (adil dan wajar).

Para ulama mujtahid, untuk menerapkan suatu hukum wasiat yang positif dari ayat 180 ini, mereka memerlukan pembahasan dan penelitian pula terhadap ayat-ayat lain dalam Alquran dan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada hubungannya dengan persoalan ini, sehingga mereka menghasilkan pendapat antara lain:

1.Jumhur ulama memberikan pendapat bahwa ayat wasiat 180 ini telah dinasakhkan (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat mawaris yang diturunkan dengan terperinci pada surat An-Nisa:11,12 dengan alasan antara lain sebagai berikut:

a.Sabda Rasulullah saw: [5]

إن الله قد أعطي كل ذي حق حقه ألا لا وصية لوارث
 
Artinya:
            Sesungguhnya Allah swt. telah memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al Baihaqi dari Abu Umamah Al Bahali)
Hadis ini walaupun tidak mutawatir, namun telah diterima baik oleh para ulama Islam semenjak dahulu.

b.Para ulama sependapat bahwa ayat-ayat mawaris tersebut diturunkan sesudah ayat wasiat ini.

2.Para ulama yang berpendapat bahwa ayat wasiat ini dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris, terbagi pula kepada 2 golongan: golongan pertama mengatakan: Tidak ada wasiat yang wajib, baik kepada kerabat yang ahli waris maupun kerabat yang bukan ahli waris. Golongan kedua berpendapat bahwa yang dinasakhkan hanya wasiat kepada kerabat ahli waris saja, sesuai dengan ayat-ayat mawaris itu tetapi untuk karib kerabat yang tidak termasuk ahli waris, wasiat itu tetap wajib hukumnya sesuai dengan ayat wasiat ini.

3.Menurut Abu Muslim Al-Asfahani (seorang ulama yang tidak mengakui adanya nasakh dalam ayat-ayat Alquran) dan Ibnu Jarir At-Tabari berpendapat bahwa ayat wasiat 180 ini, tidak dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris dengan alasan antara lain:

a.Tidak ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, karena wasiat ini sifatnya pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang ahli waris bisa mendapat bagian dari wasiat sesuai dengan ayat 180 ini, dan dari warisan sesuai dengan ketentuan ayat-ayat mawaris.
b.Andaikata ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, maka dapat dikompromikan yaitu ayat-ayat wasiat ini sifatnya umum, artinya wajib wasiat kepada setiap kerabat, baik ahli waris maupun bukan, sedang ayat-ayat mawaris sifatnya khusus. Jadi kewajiban berwasiat itu seperti dalam ayat 180 tetap berlaku, sehingga tidak bertentangan dengan ayat-ayat mawaris.

Pada ayat 180 ini diterangkan lagi bahwa wasiat itu diperlakukan kalau ada harta banyak yang akan ditinggalkan yang berwasiat. Ulama banyak yang memberi pendapat tentang berapa banyaknya harta itu baru diperlukan adanya wasiat. Perincian pendapat para ulama ini dapat diketahui dalam kitab fikih. Tetapi bagaimanapun banyaknya dalil-dalil yang dikemukakan, pikiran yang sehat dapat mengambil kesimpulan bahwa harta yang ditinggalkan itu tentulah tidak sedikit sebab wasiat itu tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta yang ditingatkan, setelah dikeluarkan lebih dahulu apa yang wajib dikeluarkan, seperti utang-utang dan ongkos seperlunya untuk kepentingan penyelenggaraan jenazah. Kalau wasiat itu lebih dari sepertiga, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris yang menerima warisan itu.
Kalau ada yang tidak setuju, maka wasiat hanya berlaku sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan itu, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw.:


إن الله أعطاكم ثلث أموالكم عند وفاتكم زيادة لكم في أعمالكم
 
Artinya:
            Sesungguhnya Allah telah membolehkan memberikan sepertiga dari harta kamu sewaktu dekat dengan mati untuk menambah kebajikan kamu. (HR Ad Daruqutni dari Mu'az bin Jabal)

            Jadi kalau harta sedikit, tentulah wasiat itu tidak pantas dan tidak wajar.
Sesudah itu Allah menekankan pula, bahwa wasiat it diberikan dan dibagi secara makruf, artinya secara baik, adil dan wajar. Jangan ada yang menerima sedikit sedang yang lain menerima lebih banyak, kecuali dalam hal-hal yang cukup wajar pula, yaitu orang yang menerima lebih banyak, adalah karena sangat banyak kebutuhan dibandingkan dengan yang lain.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 180

            (Diwajibkan atas kamu, apabila salah seorang di antara kamu didatangi maut) maksudnya tanda-tandanya (jika ia meninggalkan kebaikan) yakni harta yang banyak, (berwasiat) baris di depan sebagai naibul fa`il dari kutiba, dan tempat berkaitnya 'idzaa' jika merupakan zharfiyah dan menunjukkan hukumnya jika ia syartiyah dan sebagai jawaban pula dari 'in', artinya hendaklah ia berwasiat (untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik-baik) artinya dengan adil dan tidak lebih dari sepertiga harta dan jangan mengutamakan orang kaya (merupakan kewajiban) mashdar yang memperkuat isi kalimat yang sebelumnya (bagi orang-orang yang bertakwa) kepada Allah. Ayat ini telah dihapus dan diganti dengan ayat tentang waris dan dengan hadis, "Tidak ada wasiat untuk ahli waris." (H.R. Tirmizi)

b.      Al-baqarah ayat 181
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s002/a181.png
Artinya
             “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Tafsir  Surah Al Baqarah 181

             Pada ayat 181 ini, Allah memperingatkan dengan tegas agar wasiat yang telah dibuat, jangan dirubah oleh siapa pun juga. Barang siapa yang merubah atau menggantinya di mana ia telah mengetahui apa isinya yang sebenarnya dari wasiat itu, maka dialah yang akan memikul segala dosa yang tidak dapat dielakkannya, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar
Surah Al Baqarah 182

http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s002/a182.png
Artinya
            “(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan [113] antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Tafsir  Surah Al Baqarah 182
 
            Pada ayat ini Allah memberikan penjelasan, yaitu kalau seseorang merasa khawatir bahwa orang yang berwasiat itu tidak berlaku adil dalam memberikan wasiatnya Maka tidak ada dosa baginya untuk menyuruh yang berwasiat agar berlaku adil dalam memberikan wasiatnya.
Apabila seseorang mengetahui bahwa wasiat yang telah dibuat itu ternyata tidak adil kemudian ia berusaha mendamaikan antara orang-orang yang menerima wasiat itu, sehingga terjadi perubahan-perubahan, maka hal serupa itu tidaklah dianggap perubahan yang mengakibatkan dosa, tetapi perubahan yang tidak adil kepada yang adil, yang disetujui oleh pihak yang menerima bagian dari wasiat itu.

            (Tetapi barang siapa merasa khawatir terhadap orang yang berwasiat) ada yang membaca muushin dan ada pula yang membaca muwashshin (berlaku berat sebelah) menyimpang dari keadilan (atau berbuat dosa) misalnya dengan sengaja melebihi sepertiga atau mengistimewakan orang kaya, (lalu didamaikannya di antara mereka) yakni antara yang menyampaikan dan yang
        BAB III
KESIMPULAN

1.                 Pada awalnya sebelum seseorang meninggal hendaknya berwasiat untuk pembagian harta waris. Namun mengenai hal ini ada perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini tidak berlaku lagi karena Wasiat dalam surat al-baqarah ayat 180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’ ayat 11-12. namun sebagian ulama mengatakan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah 180 tetap berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak). Karena dalam ayat itu harta benda itu tidak disebut mal tapi khairan yang artinya baik. Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang banyak.

2.    jika seseorang berwasiat agama menganjurkan adanya saksi atau pada zaman sekarang yaitu ke notaries. Hal ini karena dikhawatirkan adanya kecurangan atau kekeliruan dalam wasiat. Wasiat tidaklah bisa diubah kecuali dalam keadaan tertentu, misalnya adanya maksud pilih kasih oleh si pembuat wasiat. Dalam kondisi seperti ini tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang dari tindakan berat sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan urusannya kepada keadilan dan kesadaran
















DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1983.  Tafsir Al Azhar, Jakarta : PT Pustaka Panji Mas.
Syahin, Musa. Tt.  Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt: Tp.
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah, juz 1. Tk, Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani



[1][2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, juz 1. 2000, Tk, Lentera Hati. 372
[2] [3] Musa syahin, Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt, Tk, Tp. 427
[3] [4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta : Gema Insani, 2000),
[4] [5] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta : PT Pustaka Panji Mas, ), 111.
6 Quthb, Tafsir Fi,,, (Jakarta : Gema Insani, 2000), 197.
[6] [7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, 111-112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar