Sabtu, 16 Juni 2012

pengertian al-dalalah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan melihat ketentuan-ketentuan tekstual Al-Qur'an tekstual Qur'an dan sunnah, para ulama ushul membedakan makna kedalam beberapa corak yang dapat ditampung oleh suatu nass. Para fuqaha' hanafi membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna "eksplisit" atau makna langsung suatu nass.
Disamping maknanya yang jelas, suatu nass kadang-kadang membawa makna yang ditunjukkan oleh tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang terdapat didalamnya. Maka sekunder ini disebut isyarah Al-Nass, yakni makna yang tersirat suatu nash syar'i bisa juga membawa makna yang tidak ditunjukkan dalam kata-kata atau tanda-tanda tetapi merupakan makna yang bersifat melengkapi yang didukung oleh muatan logis dan yuridis dari nash itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan rumusan sebagai berikut :
1. Pengertian Al-Dalalah ?
2. Macam-macam Al-Dalah ?





BAB II
PEMBAHASAN

AL-DALALAH

A. Pengertian
Dalalah secara umum adalah "Memahami sesuatu atas sesuatu". Kata "sesuatu yang pertam disebut " Madlul" (yang ditunjuk). Dalam hubungan dengan hukum yang disebut madlul adalah "hukum itu sendiri".
Kata "sesuatu yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk) dalam hubungannya dengan hukum disebut "dalil hukum".
Dalam kalimat "asap menunjukkan adanya api" kata "Api" disebut madlul, sedangkan "asap" yang menunjukkan adanya api disebut dalil.
Berpikir denan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dalalah.
B. Dalalah Dalam Pandangan Ulama Hanafiyah
Ulama hanafiyah membagi dalalah kepada dua macam : dalalah lafdhiyah dan dalalah ghairu lufdhiyah.
1. Dalalah lafdhiyah adalah dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafad, suara atau kata. Dalalah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafad menurut lahirnya.
Dalalah lafdhiyah dibagi menjadi 4 macam yaitu :
a. Dilalah Ibarah (ادلالة العبارة) atau ibarat nash : ungakapan nash.
Adalah makna/pengeriannya yang segera dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, baik yang dimaksud pengertian asli atau tidak. Seperti firman Allah Saw yang berbunyi :
وَاَحَلَ اللهُ البَيْعَ وَحَرَمُ الرِبَا (القر,- 225)
Artinya :
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al-Baqarah 2 : 233).
Pengertian isyarat nash itu adalah tidak sama antara jual beli dengan riba, dalam pengertian tidak asli adalah jual beli itu halal dan riba itu haram.
b. Dilalah Isyarah (دلالة الإشارة) atau isyarat nash
Adalah makna/pengertian yang tidak segera dapat dipahami dari lafadnya dan tidak dimaksudkan oleh susunan kata, akan tetapi hanya makna lazim (biasanya) dari makna yang segera dapat dipahami dari kata-katanya. Seperti firman Allah swt yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقره : 233)
Artinya :
Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (Qs. Al-Baqarah : 233).
Pengertian isyaratun nash bahwa nasab anak dihubungkan kepada bapaknya, bukan kepada ibunya.
c. Dalalah al-nash (دلالة النص) atau petunjuk nash.
Adalah makna/pengertian yang dapat dipahami dari jiwa nash dan rasionalnya.
Adalah penunjukan oleh lafad yang "tersurat" terhadap apa yang "tersirat" dibalik lafad itu. Dalalah ini disebut dengan istilah "mafhum muwafaqah" dan sebagian ulama menamakainyya dengan "qiyas jail".
Penunjukan secara dalalah nash terjadi bila suatu nash menurut ibaratnya menunjukkan suatu hukum terhadap suatu kejadian. Hukum yang terdapat dalam nash, bisa terdapat pula dalam kejadian lain adalah karena ada alasan hukum dalam kejadian lain tersebut. Contohnya firman Allah yang berbunyi :
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا.
Artinya :
Janganlah kamu ucapkan kepada kedua orang-orang itu bapakmu ucapan "ah" dan janganlah kamu bentak keduanya.(Qs. Al-Isra' : 23)
Pengertian secara dalalatun nash bahkan semua perkara/perbuatan yang menyakiti hati kedua orang tua, hal itu juga dilarang, alasan ini dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa (lughawi) tapa memerlukan penalaran.
d. Dalalah Al-Iqtidha' (kehendak nash)
Adalah dalam suatu ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan. Contoh, firman Allah yang berbunyi :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ .(النساء : 23)
Aritinya :
“ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu dan anak-anakmu yang perempuan “(Qs. An-Nisa 4 : 23).
Pengertian secara Iqtidhaun Nash pada ayat ini adalah "mengawani mereka", karena menyandarkan keharusan kepada pribadi Ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakan lafadh yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yaitu kata "mengawini".
2. Dalalah Grairu Lafdhiyah (dalalah bukan lafad)
Adalah dalil yang diinginkan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh dan bukan pula bentuk kata. Dalalah ini juga biasa disebut dalalah sukut atau bayam al-diharurah. Menurut ulama hanafi ada 4 macam, keempat macam dalalah ini memberi petunjuk dengan cara-cara sukut / diam.
a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Contoh :
وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ.(النساء : 11).
Artinya :
“Untuk dua orang Ibu/Bapak masing-masing mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah Ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah 1/3. (Qs. Al-Nisa' : 11)
b. Diamnya seseorang, padahal tugas orang tersebut harus menjelaskan secara mutlak kejadian itu.
Seperti diamnya Rasulullah Saw. Ketika menyaksikan suatu peristiwa baik berupa perkataan maupun perbuatan. Selama beliau tidak mengingkari, maka diamnya itu menunjukkan izinnya.
Contoh lain adalah adalan diamnya anak gadis ketika ditanya oleh walinya atau wakilnya untuk dikawinkan dengan seseorang, kemudian gadis itu diam. Hal ini menunjukkan kerelaannya.
c. Diamnya seseorang dianggap sama dengan perkataannya, untuk mencegah terjadinya penipuan/kesamaran.
Seperti diamnya seorang wali dikala melihat orang yang berada dibawah perwaliannya melakukan jual beli, sedang ia tidak melarang. Hal ini menunjukkan bahwa ia memberi izin, sebab kalau tidak dianggap sebagai izin, akan menimbulkan bahaya bagi orang lai.
d. Dalalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma'dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.
Contoh : umpamanya dalam menyebutkan tahun 1945. kalau diucapkan dengan sempurna "berbunyi" seribu sembilan ratus empat puluh lima" tetapi jarang orang yang menyebut secara sempurna. Kebanyakan orang mengatakan "Sembilan belas empat lima". Meski demikian, namun semua orang sudah mengetahui maksudnya.
3. Dalalah dalam pandangan Ulama Syafi'iyah,
Menurut pandangan ulama syafi'iyah dalalah ada dua yaitu dalalah manthuq dan dalalah mafhum.
a. Dalalah manthuq
Adalah petunjuk lafadh sama dengan arti redaksi lafadh itu sendiri, seperti firman Allah :
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
(النساء : 23).
Artinya :
Anak-anak, istri-istrimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri.(Qs. An-nisa : 23)
Ayat ini menunjukkan haramnya menikahi anak istri yang berada dalam pemeliharaan ayah tiri, jika ibunya telah digauli, penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan.
Dalalah manthuq dibagi menjadi dua macam :
1. Dalalah manthuq sharikh
Adalah petunjuk lafadh yang timbul dari penetapan lafadh itu sendiri walaupun secara tersembunyi. Misalnya firman Allah :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَااُفِ
Manthuq sharikh dalam istilah ulama syafi'iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dalalah ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.
2. Dalalah manthuq ghairu sharikh (tidak jelas)
Adalah petunjuk lafad sesuai dengan kelaziman yang berlaku. Dalalah ini sama dengan dalalah isyarah menrutu ulama' hanafiah. (contohnya : firman Allah (Qs. Al-Baqarah : 233).
b. Dalalah Mafhum
Adalah petunjuk lafadh kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadh itu karena memang didiamkan baik dalam hal menetapkan hukum maupun meniadakan hukum.
Dalalah mafhum dibagi menjadi dua yaitu :
1. Mafhum muwafaqah
Adalah lafadnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadh.
Contoh : فلا تفار لهمااف
Mafhum muwafaqahnya adalah semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan orang tua juga dilarang. Seperti memukul walaupun didalam ayat itu tidak disebutkan.
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua yaitu mafhum aulawi dan mafhum musawi. Mengenai penjelasan terdapat pada dalalah al-nash yang dibagi menjadi dua menurut
2. Dalalah mukholafah
adalah mafhum yang lafadhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
Mafhum ini dibagi mafhum muskholafah dibagi menjadi lima yaitu :
a. Maftum dengan sifat (مقهوك الوصف )
Adalah petunjuk lafadh yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya dari hukum yang disebutkan oleh lafadh itu. Seperti dalam firman Allah:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء : 92).
Artinya :
"Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman " ( Q.S An Nisa' : 92).
Mafhum muklolafnya memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman belum memenuhi kewajiban.
b. Mafhum dengan maksimal (مفهوم الغاية)
Adalah petunjuk lafadh yang menentukan suatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan, maka berlaku hukum sebaliknya.
فان طلقهافا تحل له من بعد حتى تنكح زوجاغيره.
Jika suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu untuk nya, hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain.
Mafhum mukholafahnya adalah bekas istri yang ditalak tiga telah kawim lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawani bekas istri yang telah ditalak tiga itu.
c. Mafhum dengan syarat (مفهوم الشرط)
Adalah bisa syarat terpenuhi berlaku hukum, tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi maka dapat ditetapkan hukum sebaliknya.
Contoh :
وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :
"Jika perempuan (yang diurai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah sampai mereka melahirkan " ( Q.S .Al-Thalaq : 6)
Mafhum mukholafnya adalah tidak wajibnya, memberi nafkah pada istri yang dicerai bain bila ia tidak hamil.


d. Mafhum dengan bilangan
Adalah petunjuk lafadh yang memberi pengertian yang dinyatakan dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya pada bilangan lain yang berbeda. Contohnya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ (النور : 2)
"Penzina perempuan dan penzina laki-laki deralah masing-masing sebanyak 100 kali"
Mafhun mukholafahnya adalah mendera pezina kuranf dari 100 kali belum memadai.lebih dari 100 kali tidak boleh/ tidal sah bila didera kurang atau lebih dari 100 kali harus pas 100 kali.
e. Mafhum dengan gelar (مفهوم الكتب)
Adalah penunjukan suatu lafadh yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang-orang lain.
Umpanya firman Allah yang berbunyi :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (الفتح : 29)
Muhamamad itu adalah utusan Allah (Q.S. Al-Fat : 29)
Mafhum mukholafahnya adalah selain nabi Muhammad bukan Utusan Allah.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum biasanya menuntut pemenuhan, tidak saja dengan makna teksnya yang terbaca jelas, tetapi juga dengan makna-makna yang dicakupnya dan petunjuk-petunjuk serta inferensi-inferensi yang bersifat tidak langsung yang ditarik darinya. Metode-metode diatas umumnya disusun untuk mendukung penelitian rasional dalam deduksi ahkam dari sumber –sumber wahyu Allah.
Al-dalalah merupakan sesuatu yang di ambil dari hukum syara' mengenai perbuatan manusia. Dalam klasifikasi Al-dalalah kaidah dasar yang harus di kemukakan adalah bahwa nash syar'i tidak pernah mensyariatkan makna sebaliknya, dan interpretasi yang berusaha membaca makna sebaliknya kedalam nash yang ada tidaklah teruji dan dapat dipertahankan. Jika dibutuhkan lagi nash tersendiri untuk mengesahkannya tetapi upaya untuk mempertahankan dua makna yang berlawanan dalam sebuah nash yang sama berarti menentang esensi dasar dan tujuan interpretasi.
B. Saran
Saya sebagai penulis makalah ini menyadari bahwa saya adalah yang dhoif tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan oleh karena itu saya* mengharap kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan dan memperbaiki pada penyusunan makalah berikutnya.





DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, Miftahul, Haq, Faishal. Ushul Fiqh. Surabaya : Citra Media, 1997.
2. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Kecana, 2008.
3. Hasyim Kamali Ahmad. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.